Sebelumnya cerita ini dibuat pada bulan Juli 2020. Cerita ini 80% diambil dari kisah nyata tapi ditambah bumbu bumbu drama didalamnya. Siapapun teman-teman gue yang mampir membaca ini dan tau sosok asli di dalam cerita tolong simpan baik baik aja pertanyaan kalian. Terimakasih telah membaca karya ini!
***
Aku tidak pernah lelah untuk menyimpan perasaan ini, tapi aku menghindar jauh dari perasaan ini. Ini adalah awal sebuah kesalahan dalam sebuah kisah klasik ini. Jatuh cinta secara diam-diam tidak berani mengungkapkan namun slalu berharap ia tidak dimiliki siapapun. Saat cinta semakin dalam, jiwa ini pun semakin terkubur jauh dalam belenggu harapan tak pasti dan angan-angan yang tidak tercapai hanya kecewa yang akan—lagi lagi di telan sendiri. Rasa takut dan pikiran pikiran buruk yang mungkin akan terjadi jika aku bongkar semua kotak rahasia ini. Tolong, jika diakhir waktu aku beri tahu isi kotak rahasia ini jangan hadiahkan aku ribuan jarak bahkan gunung es untuk menyelimuti suasana pertemuan kita. Biarkan perasaan ini terus mengejar untuk meminta tanggung jawab, atas rindu yang tak pernah tersampaikan untuk meminta balasan.
“Libur gua ga di acc nih sama bos.”
“Ga jadi nih lo kesini?” Suara kecewa terdengar dari dering telfon di sebrang
sana.
“Iya, next time ya gua agendakan lagi.”
“Yaudah, awal bulan gua aja yang kesana.”
Lima belas menit sambungan telfon itu akhirnya terputus,
karena aku harus kembali bekerja. Perasaan kecewa yang masih membalut hari ini
karena libur cuti ku tidak di approve oleh bos ku. Padahal sudah jauh
jauh hari aku meminta izin, ya sudahlah. Rencananya libur cuti ku tahun ini
ingin di pakai untuk berlibur ke Malang. Sudah jadi wish list paling
teratas setiap tahun tapi slalu paling terabaikan karena masalah waktu atau budget.
Tahun ini aku sudah niat sekali untuk ke Malang, budget sudah siap untuk
melihat indahnya sunrise di antara hamparan bukit di Bromo! Teman ku
juga sudah menunggu kedatangan ku, makannya saat libur cuti ku gagal aku
langsung menghubunginya. Rencana yang akan slalu jadi rencana.
“Lusa gua ke Jogja ya, sebelum balik gua mau mampir dulu ke
Jogja.” Pesan
singkat yang muncul di layar hp ku.
Aku kaget, sungguh.
Aku masih terdiam memandangi isi pesan itu, tidak percaya.
“Serius?” Cukup 2 detik aku mengetik kalimat tersebut.
“Iya, Selasa pagi sampai. Sampai ketemu yaaaaaaa”
Kupu-kupu menggelitiki perut ku, lalu berterbangan. Senyum ku
muncul. Aku bahagia untuk detik ini. Aku tak membalas pesannya, biarkan aku ga
perlu tau alasannya apa dia datang kesini aku hanya butuh kebahagiaan sesaat ini.
Aku masukan kembali telepon genggam ini dalam saku ku, dan aku kembali bekerja
dengan hati penuh harap dengan jantung bekerja lebih cepat hingga pipi ku terus
merona.
***
Matahari dengan rona jingga dan violet menyambut hangatnya
pagi ini, tidak yang beda pada hari hari biasanya Bude Mei yang slalu sibuk
menyiram tanamannya selepas salat subuh dan mengomeli kucing kucingnya karena
sudah keluar sebelum waktunya, Mas Jali yang slalu terlihat bahagia setiap
menyiapkan dagangan Tempe Kempulnya kesukaan semua warga sini dan warga warga
lain yang sibuk lalu lalang memulai macam macam kegiatannya hari ini. Tentu aku
yang sudah siap dengan earphone dan lagu lagu klasik menenangkan untuk
menaikan mood di pagi hari, kaki ku melangkah menuju tempat kerja ku yang tak
jauh dari kosan ku. Ada pesan singkat masuk sepagi ini, tumben.
“Sebentar lagi sampai Jogja nih” Singkat namun berhasil membuat hati
ini menari.
Padahal aku sudah berfikir pesan dari Line Today atau
akun offcial yang sudah mengirim pesan iklan menawarkan produk produk
yang semakin hari semakin aneh aneh atau email email yang isinya hanya kabar
dari aktivitas teman teman ku di facebook. Tapi kali ini berbeda.
“Yey! Sampai ketemu nanti sore. Jangan lupa sarapan ya, ada
makanan enak dan murah di timur stasiun”
Aku mengetik penuh semangat, sangat semangat. Rasanya ingin
melompat langsung ke waktu sore hari. Kamu harus tau, pesan sesingkat itu bisa
membuat diriku 10000 persen lebih baik untuk jalanin hari. Terimakasih atas
energinya.
Jam sudah menunjukan pukul 14:08 sudah waktunya aku pulang!
Senang hanya kata itu yang terus keluar disepanjang pagi. Aku bergegas
mengambil handuk dalam locker untuk mandi dan bersiap siap!
Setelah badan ini segar, aku berdiri memandang wajah ceriaku
di pantulan cermin. Saat ini aku sangat bahagia, akan kah perasaan ini terus
berjalan baik. Aku basuh wajah ini untuk terbangun dari delusi angan, aku coba
pejamkan mata ini dan menarik nafas sedalam mungkin lalu Aku hembuskan nafas
ini dan membawa semua perasaan tidak tentu ini. Ayolah, bersikap lah biasa.
“Udah di depan, lo dimana?” pesan singkat itu masuk, aku langsung
bergegas menuju pintu keluar. Tenang aku hanya cukup tenang.
Aku mengatur seluruh tubuh, pikiran, dan perasaan ini untuk
lebih tenang dan bersikap biasa saja. Disepanjang aku berjalan dari locker
ke pintu keluar aku hanya bisa bergumam “Ikan, ikan, ikan, cukup jadi ikan”
karena aku slalu ingat ucapan teman ku kalo tidak tahu harus berbuat apa dia
pasti akan berkata “Mana aku tau, aku kan ikan” dan entah kenapa itu bisa
membuat lebih baik dalam masa gugup seperti ini aku hanya perlu tenang dan
mengikuti jalannya sore ini, seperti ikan yang slalu tenang di dalam air yang
gelap dan dingin.
“Udah lama nunggu?” Sapa ku ringan, 12 bulan sudah kami tidak
bertemu canggung tentunya.
Punggungnya berbalik dan menatap ku dengan sendu namun
terlihatnya nyaman.
“EEEEEH, enggak kok, atas nama mba Nina ya?” candanya, tidak
berubah dia slalu mencairkan suasana dengan baik.
“Hahaha apa sih, mau kemana kita?”
“Kemana aja siap jalan menikmati romantisnya Jogja! tapi yang
penting makan dulu ya lapar.” Ucapnya seraya menggambil helm. “Ini mba dipake
dulu helmnya biar aman.” Lanjutnya dan aku pun mengambil helm. Sore ini adalah
sore paling indah yang pernah aku rasa di kota ini.
***
Hari terakhir ia di kota ini, kebetulan ini adalah hari
liburku. Dari pagi kita sudah bersama, menikmati gudeg pinggir jalan Sleman
yang slalu dilayani dengan kelembutan mbok khas jawa yang menambahkan
kenyamanan pagi ini. Siang hari kita menghabiskan waktu di Tebing Breksi, kita
duduk di salah satu pendopo perisitirahatan yang menghadap ke hamparan kota
Jogja, terlihat hijau dan sejuk. Lalu lalang pesawat di Bandara Adisucipto yang
terlihat dari pendopo ini menambahkan topik hangat diantara kita.
“Besok flight jam berapa?” tanyaku memecahkan pikiran
masing-masing.
“Jam 11 siang.” Aku hanya balas dengan anggukan kecil.
“Boleh tanya ga?”
“Boleh”
“Kenapa pake mampir dulu kesini? Kan ongkosnya jadi double.”
“Gapapa, pengen aja… kebetulan temen juga ada yang mau kesini
liat pacarnya. Yaudah sekalian aja nengok lo dan sekalian liburan.”
Kamu ga mau jadiin aku pacar? Biar
alasannya sama kaya temen kamu.
Alasan yang dibuat semakin aku ragu
untuk mengatakan perasaan ini, sifatnya yang begitu baik dan alasannya yang
slalu masuk akal tapi semakin membuat perasaan ku menjadi rumit karena semakin
timbul harapan harapan dari tindakan itu. Apakah tidak slalu bertanya? Kamu
rela mengorbankan uang dan waktu kamu untuk melihat ku disini walau ada
tambahan kalimat penjelas kamu sekalian ingin liburan. Tapi selama aku kerja
kamu hanya berdiam di penginapan mu dan baru keluar saat aku selesai kerja.
Jangan membuat ini semakin sulit dan membuat pertanyaan pertanyaan baru.
“lo mau ga jadi pacar gue?”
“Apaan sih, udah mulai sore katanya
mau ke bukit Paralayang. Yuk ah berangkat.”
Ia langsung bergegas, berjalan
sendiri dan menghiraukan pertanyaan itu. Aku masih melihat punggungnya yang
semakin menjauh yang berbanding lurus dengan harapan ku yang kian menjauh.
Alam ternyata merestui ku untuk
menikmati hal ini dengan dia walaupun sampai detik ini pertanyaan ku belum
dijawab olehnya. Mungkin alam berusaha menenangkan perasaan ku yang kalut ini,
setidaknya aku bisa melihat indahnya sunset ini bersama orang yang sangat ku takutkan—perasaannya
yang tidak sama. Kita duduk disisi tebing, melihat matahari yang masih terik
karena memang sekarang masih pukul 4 sore masih kurang lebih satu jam untuk
menunggu matahari tenggelam. Kita masih sibuk berdiam, aku pun sibuk dengan
diri sendiri bertanya tanya kenapa aku seberani itu.
“Nin…”
“Iya?” Jawabku lurus menatap ombak
dibawah sana, dengan pikiran kosong.
“Tadi karcis parkir motor di lo kan?”
“Emang iya?” Aku lupa, akupun sibuk
membongkar tas dan mengecek kantong saku celana ku.
“Lo cari apa?”
“Karcis.”
“Emang ga ada karcis parkir kali,
orang tadi langsung bayar 2 ribu.”
Kesal hanya perasaan itu yang bisa
digambarkan. Dia gatau apa aku sedang sibuk memikirkan jawaban jawaban dia yang
entah kapan dijawabnya atas pertanyaan ku tadi siang, dia malah mempermainkan
ku.
“Nyebelin lo!”
“Habis lo dari tadi diem aja, gue
jadi bingung harus ngapain dan jadi bosen.”
Aku memutarkan badan membelakangi
matahari sore.
“Ih ngambek!”
“Apaan sih, orang silau itu matahari
lo enak pake topi.”
Hening. Matahari mendekati pukul
setengah 5 sore semakin menyilaukan warnanya yang mulai berubah menjadi orange
yang bersiap untuk meninggalkan bumi, tapi aku sangat ingin lihat perubahan itu
akhirnya aku kembali membalikan badan menghadap hamparan laut yang terlihat
cantik dari ketinggian ini dan matahari yang semakin siap membantu ke indahan
sore ini. Namun, aku tetap tidak terlalu bisa menikmatinya dengan baik karena
cahayanya masih menganggu, aku mencoba membuat penutup dengan tangan ku diatas
dahi agar silaunya tidak terlalu menganggu ya walaupun kelamaan membuat pegal.
“Pake ini biar ga silau.”
Ada topi yang ditempelkan dikepalaku,
aku meliriknya. Ia menaikan kepala hoodienya untuk melindungi wajahnya agar
tidak terlalu tersorot oleh matahari sore itu. Bukan matahari sore ini yang
indah, tapi sosok itu sangat terlihat mempesona, terlalu banyak teka-teki yang
ia buat dan belum ada yang bisa ku selesaikan. Aku terdiam, memandang lurus tak
berarah. Matahari mulai terbenam dengan cantik, membuat semua yang melihatnya
kagum atas perilaku Tuhan menciptakan keajaiban ini.
Kotak itu sudah ku buka, tapi kamu
tidak penasaran isi kotak tersebut. Kamu lebih memilih untuk menghindarinya.
Memang kamu tidak memberikan suasana yang dingin tapi kamu berubah seperti matahari
sore, kamu memberikan kesan indah sebelum menghilang setelahnya kamu membuat
suasana menjadi gelap. Tidak ada keindahan.
Dua bulan berlalu, setelah pertemuan
terakhir kita. Tidak ada panggilan masuk dari kamu bahkan pesan pun tidak ada
untuk sekedar memberitahu bahwa kamu telah sampai dengan selamat saat itu.
Perbuatan manis memang bukan lah petunjuk atas jawaban jawaban rindu ku selama
ini.
Komentar
Posting Komentar